Cari Blog Ini

Kamis, 21 Maret 2013

TIK - Konversi Bilangan Oktal ke Bilangan Desimal


Misalkan kita ingin mengkonversi bilangan oktal 145.

langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengkonversi bilangan oktal menjadi bilangan biner terlebih dahulu, yaitu dengan memisahkan bilangan tersebut dan mengubah menjadi bilangan biner. 
Bilangan 1 merupakan jumlah dari [(0 x 22)+(0 x 21)+(1 x 20)]. 
Bilangan 4 merupakan jumlah dari [(1 x 22)+(0 x 21)+(0 x 20)]. 
Bilangan 5 merupakan jumlah dari [(1 x 22)+(0 x 21)+(1 x 20)]. 
Lalu bilangan 1 dan 0 diabung menjadi 001100101. Bilangan biner biasanya terdiri dari 8 angka sehingga penulisannya menjadi 0110 0101. 

Lalu tinggal merubah bilangan biner menjadi desimal dengan cara 
[( 0x27)+ ( 1x26)+ ( 1x25)+ ( 0x24)+ ( 0x23)+ ( 1x22)+ ( 0x21)+ ( 1x20)]
= 0 + 64 + 32 + 0 + 0 + 4 + 0 + 1 
= 101.

Jadi bilangan desimal dari bilangan oktal 145 adalah 101

Sabtu, 02 Maret 2013

BIND - Cerpen "Menunggu Akhir Bahagia"



Dan kau lewat lagi di hadapanku. Kau melihatku, dan tersenyum padaku. Tiap aku memandangmu, hati ini menggebu-gebu. Semakin lama, semakin menyerbuku. Andai saja kau tahu apa yang kini kurasakan. Dan andai saja kau punya perasaan yang sama denganku. Aku ingin mengungkapkan ini. Tapi sangat susah. Jadi, aku hanya bisa melihatmu melewatiku.
Sepertinya aku telah jatuh cinta. Perasaanku ini semakin tumbuh. Saat kau tak ada di dekatku, aku selalu memikirkanmu. Aku disini hanya bisa memandangmu. Apa yang harus kulakukan ?
Perasaan berdebar seperti saat pertama ku melihatnya masih kurasakan hingga kini. Tiap kali pandangan kita bertemu, tiap kali aku mendengar suaranya, aku bisa merasakan kebahagiaan yang tak bisa kusembunyikan.
Sangat susah tuk mengungkapkannya. Aku sangat mengenalmu, tapi kau tak mengenalku. Mungkin aku hanyalah orang asing bagimu. Inginku mendekatimu, namun rasanya untuk melangkahkan kaki ini sangatlah berat. Aku hanya bisa memendam rasa ini. Aku ini hanya orang biasa yang tak pantas untukmu yang begitu menawan. Banyak yang menyukaimu, namun tak taukah kau hanya akulah yang mencintaimu ? Namun aku sadar, aku tak kan bisa memilikimu.
“Rin ! Ayo !” Aku segera terbangun dari lamunanku tentangnya. Anggi, sahabatku sejak SMP, telah memanggilku. Kami selalu pulang bersama, karena jalan rumah kami satu arah. Aku pun menghampirinya. “Ciee.... Yang lagi jatuh cinta” katanya menggodaku. “Apaan, sih. Udah, deh.” Kataku. “Kamu beneran suka sama Raka ?” tanyanya. “Sssst... Jangan keras-keras ! Ehm.. Iya, aku suka sama dia.” Jawabku. “Kenapa ? Karena dia ganteng ?” tanyanya. “Ehm... nggak tau. Suka aja. Nggak tau kenapa.” Jawabku. “Oh, iya. Kamu inget nggak dulu waktu SMP, ada anak yang super culun ngasih surat cinta ke kamu ?” “Iya”aku pun teringat dengan surat itu. Itu adalah surat cinta pertamaku. Kata-katanya puitis. Aku pun langsung jatuh cinta padanya. Tapi aku tak tau siapa namanya. Aku mencari anak itu tapi, katanya dia sudah pindah sekolah. “Dulu kamu bilang, kamu suka sama dia. Sekarang ?” “Haha, aku aja nggak tau siapa dia. Mungkin, dia cuma iseng. Ya, sekarang, kan, udah ada penggantinya. Raka.” “Hah, ya udah, lah. Aku duluan, ya” katanya dan langsung masuk ke rumahnya. Aku pun melanjutkan perjalanan menuju rumahku. Dan tanpa kehendakku, sosok itu melintas di pikiranku. Raka. Nama itu berlari mengelilingi kepalaku dan tak mau berhenti.
***
Sungguh penat hari ini. Mulai dari ulangan PKN yang susahnya minta ampun hingga tugas yang tak ada habisnya. Ingin segera kutuntaskan tugas-tugas itu, namun aku terlalu lelah tuk melakukannya. Aku teringat dengan surat yang diberi anak culun itu. Aku masih menyimpannya. Entah kenapa aku merasa, surat ini bukan sekedar iseng.
Kurebahkan tubuh ini di atas kasur yang empuk. Dan sosok itu kembali terlintas di pikiranku. Aku teringat saat dia tersenyum padaku tadi siang. Itu pertama kalinya ia tersenyum padaku. Rasanya semua kepenatan hilang. Raka. Wajahnya tampan, tajir, keren. Dan di tengah lamunanku itu aku tertidur.
KRIIIIIIIIING.... jam alarmku mengagetkanku. Dan kulihat jam itu menunjukkan pukul 6.30. What ! Ini sudah terlalu telat untuk mandi dan sarapan. Aku segera menggosok gigi, mengenakan seragam, menyemprotkan parfum sebanyak-banyaknya, menyisir rambut ala kadarnya, dan segera berangkat dengan sepeda motor. Aku mengebut sekencang-kencangnya hingga mungkin dapat mengalahkan pembalap moto GP. Setelah 10 menit berjalan akhirnya sampai di sekolah. Aku segera masuk dan memarkir motorku. Jam tanganku menunjukkan pukul  6.58. Aku segera berlari menuju kelas. Duak... Sepertinya aku menabrak seseorang. “Kamu nggak papa ?” kata orang yang menabrakku itu sembari mengulurkan tangannya padaku. “Iya. Nggak papa, kok” kataku sambil merapikan rambutku yang berantakan. Aku pun berdiri dengan bantuannya. Setelah kudongakkan kepalaku, kulihat wajahnya, dan yang kulihat adalah Raka. “Maaf, ya, tadi aku jalan nggak liat-liat” katanya. “Nggak, kok. Aku yang salah. Aku tadi lari nggak liat jalan” kataku. “Oke, bye..” katanya dengan melambaikan tangannya dan tersenyum. Aku pun tersenyum lebar. Aku melihat jam tanganku lagi. 7.00. Aku segera berlari lagi dan kulihat Pak Eko, guru fisika, sudah mendekati kelasku. Aku makin mempercepat langkahku. Dan akhirnya sampai sebelum Pak Eko tiba di kelasku. Hah.. lega rasanya.
Setelah aku duduk di tempatku, aku mengatur nafas setelah ngos-ngosan gara-gara lari tadi. Senang rasanya hari ini bisa ditolong Raka. Mimpi apa aku tadi malam, bisa ditolong Raka. “Rina ! Coba kamu jelaskan apa yang dimaksud gravitasi.” Aku terbangun dari lamunanku. Tak kusadari papan tulis di depan telah dipenuhi coret-coretan Pak Eko yang nggak jelas. Mungkin karena aku tidak memperhatikannya. “Ehm.. Gravitasi itu...Sebuah gaya yang membuat saya berdiri tegak. Jika tidak ada gravitasi, maka saya akan melayang-layang. Jadi gravitasi itu suatu gaya tarik antara saya dengan bumi yang sebanding dengan massa saya dan bumi.” Jawabku asal. Hanya menurut logika saja. “Bagus sekali !” katanya. Aku pun terkejut. Jawaban seperti itu dibilang bagus ? “Hanya kurang tepat. Jadi, seperti yang dikatakan Rina tadi, gravitasi adalah suatu gaya tarik menarik antara dua benda yang besarnya sebanding dengan massa dua benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara keduanya.” Pak Eko masih meneruskan penjelasannya. Dan aku melanjutkan lamunanku tadi. Cinta itu perasaan melayang yang dipengaruhi gaya gravitasi. Perasaanku kini melayang entah kemana.
***
Hari ini aku berangkat sekolah seperti biasa, tidak telat seperti kemarin. Saat sampai di sekolah, kulihat jam tanganku masih menunjukkan pukul 6.30. Setelah aku memarkir motor, aku berjalan dengan santai, tak tergesa-gesa. Saat berjalan, kepalaku menunduk. Karena kebiasaan itu, aku sering hampir menabrak orang. Duak... dan aku tertabrak seseorang yang sepertinya tadi sedang berlari. “Sorry, ya. Aku lari nggak liat jalan.” Katanya seraya mengulurkan tangannya. “Nggak, kok. Aku yang salah. Jalan sambil nunduk” kataku sambil berusaha berdiri dengan bantuan tangannya. Aku mendongakkan kepala. Dan yang kudapati adalah wajah Raka. “Eh, kamu lagi. Aku udah nabrak dua kali. Sorry, ya.” Katanya. “Nggak, kok. Harusnya aku yang bilang maaf” kataku. “Ehm.. aku Raka. Kamu ?” Tanyanya dengan tersenyum. “Aku Rina” aku pun tersenyum. “Ehm.. aku ke kelas dulu, ya. Bye..” Ia pun meninggalkanku dengan senyumannya. Aku tersenyum lebar. Wow. Raka ngajak aku kenalan itu rasanya amazing banget.
6.58. What ! Lemot sekali langkahku. Aku pun segera berlari menuju kelas sebelum ada guru yang datang. Dan untungnya anak di kelas masih ramai dan belum ada guru yang datang. Huft.. Untung saja.
“Hei ! Ngelamun aja.” Anggi mengagetkanku. “Ih.. nggak kok. Siapa yang ngelamun.” Kataku. “Ehm.. oh iya. Aku denger-denger, setelah kenaikan kelas, Raka mau pindah ke luar kota.” Katanya. “Ah masa ?” kataku. “Tapi katanya dia masih ragu mau pindah atau nggak.” Katanya. “Oh..” reaksiku singkat. “Kamu nggak pengen ngomong ke dia ?” tanyanya. “Ehm.. nggak tau.” Jawabku. “Nanti nyesel, lho” katanya. “Ehm... nggak tau”
***
Hari demi hari berlalu. Ujian semester telah kulalui. Sebentar lagi kenaikan kelas. Dan sebentar lagi Raka akan pindah ke luar kota. Galau. Haruskah aku menyatakan perasaanku padanya ? Atau sebaiknya aku berdiam diri di sini ? Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan ini. Entahlah.
Kulihat dia berjalan menuju lapangan tenis sambil menenteng kamera dan sesekali memotret bagian-bagian sekolah. Sepi di sana. Mungkin ini saatnya aku mengungkapkan perasaanku padanya.
“Hai” aku menyapanya. Dia memotretku. “Oh, hai.” Dia pun tersenyum. Hening sejenak. “Aku...” kami mengatakan hal sama bersamaan. “Kamu duluan” katanya. “Nggak. Kamu dulu aja.” Hening lagi. “Aku... suka kamu.” Apa ? aku nggak salah dengar, kan ? “Aku mengubah semua aspek di hidupku sejak pertama kamu ada di hadapanku. Dulu aku ini anak culun. Mungkin waktu itu, kamu nggak liat aku karena aku culun. Kamu inget nggak, dulu waktu SMP, ada anak culun yang ngasih surat cinta ke kamu ?” tanyanya. Aku mengingatnya. Aku pun menganggukkan kepalaku. Dia tersenyum. “Aku cuma nulis surat, karena aku nggak berani bilang langsung ke kamu. Harusnya, ini adalah hal pertama yang harus aku lakukan sebelumnya. Aku cinta kamu, Rina” perlahan ia meneteskan air mata. Aku pun meneteskan air mataku. Ia mengusap air mataku. “Kenapa nangis ?” aku hanya menggelangkan kepalaku. “Sekarang giliran kamu. Kamu mau bilang apa ?” tanyanya. Aku memeluknya. “Semua yang mau aku bilang ke kamu, udah kamu bilang ke aku. Jadi nggak ada yang perlu aku omongin sekarang.” Kami semakin mempererat pelukan kami.
Lalu dia melepas pelukannya dan menggenggam tanganku. “Jadi ?” “Jadi apanya ?” “Kita sama-sama suka. Jadi...” aku masih menanti lanjutan kalimat itu. “Pacaran, yuk ?” tanyanya. “Ehm... tapi, kata Anggi kamu mau pindah ke luar kota ?” tanyaku. “Haha, itu Cuma akal-akalan aku sama Anggi aja. Aku pengen tahu apa kamu suka sama aku juga atau nggak. Dan setelah Anggi bilang itu ke kamu, Anggi bilang kamu khawatir banget. Makanya, sekarang aku berani bilang ini ke kamu.” Katanya. Lalu Anggi menghampiri kami berdua. “Iya. Sorry, ya. Aku nggak bermaksud ngerjain kamu, kok, Rin.” Kata Anggi. “Iya. Tapi makasih kamu udah bilang itu ke aku. Kalau kamu nggak bilang gitu, mungkin aku nggak akan pernah berani bilang ke Raka.” Kataku. “Jadi... Gimana ?” tanya Anggi pada kami berdua. Lalu Raka meletakkan lenganku di lengannya. “Resmi” kata Raka. Kami bertiga tertawa gembira bersama. Ya.. Aku dan Raka yang ternyata sama-sama suka dan sama-sama takut mengungkapkan perasaanya akhirnya  bisa mengungkapkan semuanya dan jadian. Just wait now for our happy ending J.


Erdyanti Rinta Bi Tari
X.10/16